HEADLINE
Mode Gelap
Artikel teks besar

Permintaan Amnesti Noel Ebenezer Dinilai Mempermalukan Presiden Prabowo

 

Permintaan Amnesti Noel Ebenezer Dinilai Mempermalukan Presiden Prabowo

 jatimradar.com  – Permintaan amnesti yang diajukan mantan Wakil Menteri Ketenagakerjaan (Wamenaker) Immanuel Ebenezer atau yang akrab disapa Noel, menuai sorotan tajam dari kalangan pakar hukum hingga aktivis antikorupsi. Alih-alih menimbulkan simpati, langkah Noel justru dianggap sebagai manuver politik yang dapat mempermalukan Presiden Prabowo Subianto, sekaligus menciderai komitmen pemberantasan korupsi yang digaungkan pemerintah.


Amnesti yang Menguji Komitmen Presiden

Permintaan Noel tersebut disampaikan tidak lama setelah dirinya resmi ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan pemerasan dan korupsi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Dalam kesempatan itu, Noel yang sudah mengenakan rompi oranye khas tahanan KPK dan tangan diborgol, tiba-tiba melontarkan harapan agar Presiden Prabowo memberikan amnesti.

Semoga saya mendapatkan amnesti dari Presiden Prabowo,” ucap Noel kepada wartawan saat digiring ke mobil tahanan di Gedung Merah Putih KPK, Jumat (22/8/2025).

Pernyataan tersebut sontak memicu perdebatan publik. Banyak yang menilai, langkah Noel sekadar upaya menyelamatkan diri dari jerat hukum dengan cara melibatkan nama Presiden.

 

Pakar Hukum: Sebuah Tekanan Politik Halus

Pakar hukum tata negara, Prof. Henry Indraguna, menilai permintaan amnesti yang dilontarkan Noel bukanlah langkah hukum biasa, melainkan bentuk manuver politik yang berpotensi menekan Presiden Prabowo.

Kesan yang muncul, Noel memanfaatkan informasi aliran dana sebagai ‘senjata’ untuk menekan Presiden agar memberi pengampunan,” kata Henry dalam keterangan tertulis yang diterima awak media, Senin (25/8/2025).

Henry yang juga menjabat Ketua DPP Ormas MKGR ini menegaskan, tindakan Noel bukan hanya tidak etis, tetapi juga bisa dianggap sebagai upaya mempermainkan keadilan.

“Ini jelas sebuah penghinaan terhadap perjuangan rakyat dalam melawan korupsi. Permintaan amnesti itu sama sekali tidak pantas,” tegasnya.

 

Mempermalukan Presiden di Hadapan Publik

Menurut Henry, langkah Noel tersebut justru mempermalukan Presiden Prabowo. Sebagai kepala negara sekaligus Ketua Umum Partai Gerindra, Prabowo selama ini dikenal cukup tegas dalam mengingatkan jajaran kabinet dan kader partai untuk menjauhi praktik korupsi.

“Presiden Prabowo sudah berulang kali menegaskan bahwa ia tidak akan melindungi siapa pun yang terbukti melakukan tindakan korupsi, bahkan sekalipun itu pembantunya sendiri. Permintaan amnesti dari Noel justru menempatkan Presiden pada posisi sulit di mata publik,” papar Henry.

Dalam pandangan Henry, satu-satunya langkah tepat yang harus dilakukan adalah membuka kasus ini secara transparan. Ia pun mendorong KPK dan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) untuk segera menelusuri aliran dana suap yang melibatkan Noel.

“Kasus ini harus dibongkar sampai ke akar-akarnya, tanpa intervensi politik sedikit pun,” tegasnya.

 

KPK Diminta Bertaring

Kasus Noel menjadi perhatian khusus karena menyangkut posisi penting yang pernah ia duduki, baik sebagai Wamenaker maupun komisaris di salah satu Badan Usaha Milik Negara (BUMN).

Henry mengingatkan, praktik korupsi adalah “racun bangsa” yang tidak boleh dibiarkan. Karena itu, KPK harus membuktikan bahwa lembaga antirasuah tersebut tetap memiliki taring.

“KPK harus bertindak tegas dan masyarakat sipil juga harus ikut mengawal agar hukum tidak disalahgunakan. Jangan sampai kasus sebesar ini hanya berakhir dengan kompromi politik,” imbuhnya.

 

Kasus yang Membuka Luka Lama

Penangkapan Noel oleh KPK memang bukan sekadar perkara hukum biasa. Kasus ini membuka kembali diskursus publik mengenai komitmen pemberantasan korupsi di Indonesia, terutama setelah beberapa kali muncul kekhawatiran soal independensi lembaga antirasuah.

Bagi sebagian pihak, langkah Noel mengajukan amnesti seolah menjadi simbol bagaimana oknum pejabat publik masih mengandalkan kedekatan politik sebagai “jalan keluar” dari jerat hukum. Padahal, tuntutan masyarakat sangat jelas: siapa pun yang terlibat korupsi harus diadili tanpa pandang bulu.

 

Perbedaan Amnesti dan Grasi Menurut Konstitusi

Permintaan amnesti Noel juga menimbulkan pertanyaan baru di kalangan masyarakat: apa sebenarnya perbedaan antara amnesti dan grasi?

Menurut UUD 1945 Pasal 14, Presiden memiliki kewenangan untuk memberikan amnesti, abolisi, grasi, dan rehabilitasi. Namun, masing-masing memiliki konteks dan syarat yang berbeda:

  1. Amnesti
    • Bersifat kolektif dan umum.
    • Biasanya diberikan dalam konteks politik, misalnya kepada kelompok pemberontak atau pelaku tindak pidana politik untuk kepentingan rekonsiliasi nasional.
    • Pemberian amnesti harus mendapat pertimbangan DPR.
    • Efek hukumnya: menghapus tindak pidana dan segala akibat hukumnya.
  2. Grasi
    • Bersifat individual.
    • Diberikan kepada seseorang yang sudah dijatuhi vonis tetap (inkracht) oleh pengadilan.
    • Tidak menghapus tindak pidana, tetapi mengurangi atau menghapuskan hukuman (misalnya pengurangan masa hukuman penjara atau perubahan hukuman mati menjadi seumur hidup).
    • Presiden memberikan grasi dengan mempertimbangkan Mahkamah Agung (MA).

 

Apakah Noel Bisa Mendapat Amnesti?

Berdasarkan ketentuan di atas, permintaan Noel agar diberikan amnesti terlihat tidak tepat secara hukum. Kasus dugaan korupsi yang menjeratnya adalah tindak pidana umum, bukan tindak pidana politik.

“Amnesti lebih banyak digunakan untuk kepentingan politik negara, seperti saat Presiden Soekarno memberi amnesti kepada eks pemberontak PRRI/Permesta, atau Presiden Habibie memberi amnesti bagi tahanan politik Aceh. Dalam kasus Noel yang menyangkut korupsi, jelas tidak relevan,” ujar Henry.

Jika pun Noel berharap mendapat pengampunan, seharusnya yang ia ajukan adalah grasi, itupun setelah ada putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.

 

Respons Publik: Antara Geram dan Prihatin

Publik pun bereaksi keras terhadap permintaan amnesti Noel. Di media sosial, banyak warganet yang menyebut tindakan tersebut sebagai “lelucon politik” yang melecehkan hukum. Sebagian lainnya menilai, sikap Noel merupakan refleksi dari mentalitas pejabat yang tidak siap mempertanggungjawabkan perbuatannya.

“Kalau memang bersalah, ya hadapi proses hukum. Jangan malah bawa-bawa nama Presiden. Itu sama saja mempermalukan kepala negara,” tulis seorang pengguna X (Twitter) dalam tanggapan terhadap pemberitaan kasus ini.

 

Dampak Politik untuk Pemerintah

Pengamat politik menilai, meski Prabowo tidak terlibat langsung, manuver Noel bisa menimbulkan dampak politis yang tidak ringan. Publik bisa menilai ada konflik kepentingan bila Presiden terlihat memberi kelonggaran kepada mantan bawahannya.

Karena itu, transparansi menjadi kunci. Bila pemerintah dan penegak hukum mampu menangani kasus ini secara terbuka, justru akan memperkuat citra Presiden sebagai pemimpin yang konsisten dalam pemberantasan korupsi.

 

Kesimpulan

Permintaan amnesti dari Noel Ebenezer jelas bukan sekadar urusan hukum, tetapi juga membawa implikasi politik yang serius. Di tengah komitmen Presiden Prabowo untuk menegakkan pemerintahan bersih, langkah Noel dipandang sebagai upaya menekan sekaligus mempermalukan kepala negara.

Selain itu, secara konstitusional, permintaan amnesti Noel pun keliru, sebab kasus korupsi tidak bisa dikategorikan sebagai tindak pidana politik. Bila ingin mendapat keringanan, jalurnya adalah grasi, itupun setelah ada putusan hukum tetap.

Kini, sorotan publik tertuju pada KPK dan PPATK untuk segera menelusuri kasus ini hingga tuntas. Harapannya, hukum benar-benar ditegakkan tanpa kompromi, sehingga masyarakat mendapatkan bukti nyata bahwa pemberantasan korupsi tidak hanya jargon, tetapi sebuah komitmen yang dijalankan dengan konsisten.


Posting Komentar