HEADLINE
Mode Gelap
Artikel teks besar

Rumah yang Terbelah: Suara Diaspora di Antara Luka Bangsa




Tinggal di luar negeri sering kali memberikan kenyamanan dan stabilitas. Namun, bagi sebagian diaspora Indonesia, kenyamanan tersebut sering kali disertai dengan rasa cemas dan bimbang. Kehidupan yang relatif stabil di luar negeri kontras dengan gejolak sosial dan ekonomi yang melanda tanah air.

Fenomena ini bukanlah hal baru. Sejarah mencatat bahwa tokoh-tokoh seperti Mohammad Hatta dan Sutan Sjahrir, yang kala itu belajar di Belanda, menjadi motor intelektual bagi pergerakan kemerdekaan Indonesia. Kini, peran diaspora berubah, tetapi esensinya tetap sama: menjaga arah bangsa.

Ketika Indonesia dilanda ketidakpastian politik, terutama terkait protes, kritik terhadap kekerasan negara, dan koreksi aturan demokrasi, diaspora memiliki peran substansial untuk menjaga denyut demokrasi tetap berdenyut. Mereka tidak berada di bawah komando pemerintah, tetapi memiliki posisi independen, ilmiah, dan non-partisan. Artinya, diaspora dapat memainkan peran kritis: menyuarakan keresahan, mengawal demokrasi, dan memberikan masukan berbasis perspektif global.

Dukungan diaspora tidak selalu terang. Namun, ini wujud nyata partisipasi politik-publik, emosional, dan efektif. Ini bukan hanya soal menyuarakan kritik terhadap kekuasaan, tetapi membentuk jaringan sosial-politik dalam menjaga demokrasi.

Dari New York hingga Melbourne, mahasiswa dan warga Indonesia menggelar aksi solidaritas, membawa spanduk penolakan terhadap kemunduran demokrasi dan menegaskan bahwa suara rakyat di tanah air tidak berdiri sendirian. Lebih lanjut, Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) di Malaysia, Prancis, Austria, hingga Tunisia menyatakan protes melalui surat terbuka melalui laman sosial medianya.

Jika suara mahasiswa di kampus, aktivis di jalanan, dan warga di aplikasi pengiriman makanan dapat terhubung dalam narasi kolektif, maka diaspora membawa kesempatan untuk memperluas jangkauan suara itu—baik secara politik maupun simbolik.

Salah satu contoh nyata adalah aksi solidaritas yang digelar oleh diaspora Indonesia di Berlin. Mereka menggelar aksi dengan membawa spanduk yang bertuliskan "Indonesia Bangkit" dan "Demokrasi untuk Semua". Aksi ini merupakan bentuk dukungan terhadap gerakan protes yang terjadi di Indonesia, serta sebagai wujud kepedulian terhadap nasib bangsa.

Namun, peran diaspora tidak hanya terbatas pada aksi di luar negeri. Mereka juga aktif dalam menyuarakan pendapat melalui berbagai platform digital. Melalui media sosial, diaspora dapat menyebarkan informasi, mengedukasi masyarakat, dan membangun kesadaran akan pentingnya demokrasi dan keadilan sosial.

Meskipun berada jauh dari tanah air, diaspora tetap merasa memiliki tanggung jawab moral terhadap kondisi bangsa. Mereka percaya bahwa ilmu, pengalaman, dan perspektif yang diperoleh di luar negeri harus kembali untuk memperjuangkan demokrasi yang sebenarnya. Karena apa artinya gelar akademis dan pengalaman global, jika pada akhirnya kita gagal menjaga rumah kita sendiri: Indonesia.

Dengan demikian, diaspora bukan sekadar orang-orang yang mencari kehidupan yang lebih baik di luar negeri. Mereka adalah bagian integral dari bangsa, yang terus berjuang untuk melihat Indonesia pulih dan tumbuh adil bagi semua.

Peran diaspora dalam menjaga demokrasi dan keadilan sosial sangatlah penting. Mereka menjadi jembatan antara Indonesia dan dunia internasional, menyuarakan aspirasi rakyat, dan memperjuangkan nilai-nilai luhur bangsa. Dengan semangat dan komitmen, diaspora dapat membantu membangun Indonesia yang lebih baik dan berkeadilan.

 


Posting Komentar