HEADLINE
Mode Gelap
Artikel teks besar

Perbedaan Cara Presiden Prabowo dan Sukarno dalam Merespons Demonstrasi



Presiden Prabowo Subianto segera merespons gelombang demonstrasi yang terjadi di beberapa daerah, khususnya insiden tragis ketika seorang pengemudi ojek online bernama Affan Kurniawan tertabrak mobil taktis Brimob. Ia menyampaikan pernyataan resmi melalui video dari Sekretariat Presiden pada tanggal 29 Agustus 2025 dan menyerukan masyarakat tetap tertib serta menjaga persatuan.

Tak hanya melalui pernyataan, Prabowo langsung mendatangi keluarga almarhum Affan. Ia memberikan jaminan bahwa pemerintah akan memberikan bantuan sosial serta dukungan pendidikan bagi keluarga korban.

Selain itu, pada 31 Agustus 2025, Prabowo memanggil para tokoh organisasi Islam, seperti Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah, untuk berdiskusi di Hambalang. Mereka sepakat untuk bekerja sama menjaga situasi agar masyarakat tetap tenang. Ia juga menyatukan komunikasi dengan ketua umum partai politik dan pimpinan lembaga negara seperti MPR/DPR—termasuk beberapa tokoh penting—untuk mendorong komitmen menjaga kepercayaan publik dan kewaspadaan terhadap potensi anarkisme.

Menanggapi tuntutan rakyat yang menyoroti tunjangan rumah bagi anggota DPR—sebesar Rp 50 juta—Presiden mengabulkan tuntutan tersebut. Ia menyampaikan bahwa pimpinan DPR menyepakati pencabutan beberapa kebijakan, termasuk tunjangan tersebut dan moratorium kunjungan kerja ke luar negeri.

Lebih jauh, pada 1 September 2025, Prabowo mengunjungi korban demonstrasi—baik warga sipil maupun anggota kepolisian—di Rumah Sakit Bhayangkara Tingkat 1 R. Said Sukanto. Ia memastikan kondisi mereka, dan menyampaikan penghormatan kepada aparat yang terluka. Ia bahkan memerintahkan kenaikan pangkat dan akses pendidikan untuk mereka sebagai bentuk apresiasi atas pengabdian mereka.


Sementara itu, Presiden pertama RI, Ir. Sukarno, merespons demonstrasi dengan pendekatan yang lebih terbuka dan persuasif. Pada masa Demokrasi Parlementer dan Demokrasi Terpimpin, berbagai aksi oleh mahasiswa, buruh, atau partai politik terjadi. Berdasarkan catatan, Sukarno kerap menghadapi pendemo dengan pidato atau diskusi terbuka, mengakui demonstrasi sebagai aspirasi rakyat. Ia bahkan secara langsung menerima perwakilan pengunjuk rasa, seperti saat ribuan orang dan satu batalyon artileri menyerbu Istana Merdeka pada 17 Oktober 1952 untuk menuntut pembubaran parlemen. Saat itu, Sukarno tetap tenang, berpidato, dan menegaskan bahwa sistem demokrasi tidak boleh dihancurkan menggunakan kekuatan bersenjata.

Dalam kasus lain, ketika mendapat kritikan dari wanita yang menentang praktik poligaminya pada Juli 1953, Sukarno memilih retorika yang halus. Ia kemudian menempatkan satu istrinya di Jakarta dan lainnya di Bogor, sekaligus melakukan kunjungan luar negeri tanpa istri. Strategi persuasif ini menunjukkan bahwa Sukarno mengakui kritikan, tetapi tetap menekankan bahwa demonstrasi diperbolehkan selama tidak mengancam persatuan nasional.

Lebih tegas lagi, ketika situasi negara amat tidak stabil pasca-gerakan G30S PKI, Sukarno menerbitkan Surat Perintah 11 Maret atau Supersemar. Ia memberi mandat kepada Letjen Soeharto untuk memulihkan keamanan dan kewibawaan pemerintah melalui tiga tuntutan rakyat: bubarkan PKI, bersihkan Kabinet Dwikora, dan turunkan harga. Supersemar menjadi titik awal lahirnya Orde Baru. Meski begitu, naskah asli Supersemar hingga kini masih misterius—dikabarkan hilang—sebagaimana disinggung dalam buku “Misteri Supersemar” tahun 2006 oleh Eros Djarot


Lewat perbandingan ini terlihat jelas karakter respons kedua presiden terhadap tekanan rakyat. Prabowo menekankan tindakan cepat, dialog elit, penyelesaian administratif, serta dukungan bagi korban. Sementara itu, Sukarno memilih pendekatan naratif, keterlibatan langsung dalam dialog, dan instrumen negara formal di tengah krisis. Keduanya mengambil langkah signifikan, namun dalam nuansa dan konteks yang sangat berbeda—dengan tujuan utama menjaga stabilitas dan integritas bangsa.

 


Posting Komentar