HEADLINE
Mode Gelap
Artikel teks besar

Pakar UGM Nilai Kebijakan Royalti Musik Kurang Tepat di Tengah Kondisi Ekonomi yang Tidak Stabil



Kebijakan baru mengenai royalti musik belakangan menuai perdebatan di masyarakat. Salah satu pandangan kritis datang dari pakar ekonomi Universitas Gadjah Mada (UGM), yang menilai aturan ini kurang tepat diterapkan saat kondisi ekonomi masyarakat masih belum stabil.

Menurutnya, niat pemerintah untuk memberikan perlindungan hak cipta kepada para musisi memang patut diapresiasi. Hal itu merupakan langkah penting agar karya seni mendapat nilai ekonomi yang layak serta mendorong perkembangan industri kreatif di Indonesia. Namun, di sisi lain, kebijakan tersebut sebaiknya juga mempertimbangkan daya beli masyarakat yang masih terbatas, terutama setelah berbagai tekanan ekonomi pascapandemi dan ketidakpastian global.

Beban Tambahan bagi Pelaku Usaha

Penerapan royalti musik akan berdampak langsung pada pelaku usaha di berbagai sektor, terutama yang sering memutar musik sebagai bagian dari layanan. Misalnya, kafe, restoran, pusat perbelanjaan, hotel, hingga transportasi umum. Mereka nantinya wajib membayar biaya tambahan atas penggunaan musik yang diputar di tempat usaha.

Bagi usaha besar, mungkin hal ini bisa ditoleransi. Namun, bagi pelaku usaha kecil dan menengah, beban tambahan tersebut bisa cukup memberatkan. Di saat banyak UMKM masih berjuang untuk bangkit, kebijakan royalti berpotensi menghambat pemulihan mereka. Kondisi inilah yang menurut pakar UGM perlu diperhatikan secara lebih serius sebelum kebijakan dijalankan secara penuh.

Musik sebagai Bagian dari Kehidupan Sosial

Selain itu, musik bukan hanya produk industri semata, melainkan juga bagian dari budaya dan kehidupan sosial masyarakat. Banyak ruang publik yang menggunakan musik bukan untuk kepentingan komersial langsung, tetapi sebagai sarana hiburan, edukasi, atau penguat suasana. Jika seluruhnya dikenakan royalti tanpa mekanisme pengecualian yang jelas, dikhawatirkan akan menimbulkan resistensi di masyarakat.

Pakar UGM menekankan perlunya diferensiasi antara penggunaan musik untuk tujuan bisnis yang menghasilkan keuntungan langsung dan penggunaan untuk kepentingan non-komersial. Tanpa adanya aturan yang lebih fleksibel, kebijakan ini bisa menimbulkan kesan bahwa pemerintah lebih menekankan kepentingan industri dibanding kesejahteraan masyarakat.

Perlu Regulasi yang Seimbang

Di satu sisi, musisi memang berhak mendapatkan apresiasi finansial dari karya yang mereka ciptakan. Namun di sisi lain, masyarakat juga membutuhkan akses yang terjangkau terhadap musik. Oleh karena itu, regulasi mengenai royalti harus dirancang seimbang, agar tidak ada pihak yang merasa terlalu dirugikan.

Menurut pakar tersebut, pemerintah sebaiknya tidak terburu-buru dalam menerapkan kebijakan ini secara luas. Perlu ada kajian mendalam mengenai dampaknya, termasuk simulasi beban biaya yang mungkin muncul di berbagai sektor. Dialog dengan pelaku usaha, komunitas musik, dan perwakilan masyarakat juga penting untuk menemukan titik tengah yang adil.

Alternatif Solusi

Salah satu alternatif yang dapat dipertimbangkan adalah skema royalti progresif, di mana tarif disesuaikan dengan skala usaha. Perusahaan besar bisa dikenai royalti lebih tinggi, sementara usaha kecil mendapatkan keringanan atau bahkan pengecualian. Selain itu, pemerintah juga dapat mendorong platform digital resmi sebagai sarana distribusi musik berbayar yang lebih transparan dan mudah diakses.

Dengan pendekatan semacam ini, para musisi tetap bisa mendapatkan haknya tanpa menimbulkan beban berlebihan bagi masyarakat atau pelaku usaha kecil.

Penutup

Kebijakan royalti musik pada dasarnya adalah langkah maju untuk mendukung ekosistem kreatif Indonesia. Namun, penerapannya perlu memperhatikan kondisi ekonomi dan daya beli masyarakat. Pakar UGM menegaskan bahwa pemerintah sebaiknya menunda penerapan penuh kebijakan ini sampai situasi ekonomi lebih stabil, sekaligus menyempurnakan aturan agar lebih adil bagi semua pihak.

 


Posting Komentar