Keracunan Makan Bergizi Gratis Masih Terjadi, Pakar UGM: Pengelolaan Amburadul
Kasus keracunan akibat program Makan Bergizi Gratis (MBG) kembali mencuat di berbagai daerah, termasuk di Sleman. Dalam beberapa pekan terakhir, ratusan siswa mengalami gejala keracunan setelah menyantap makanan dari program ini. Kondisi tersebut memicu kekhawatiran karena menyangkut kesehatan anak-anak di sekolah.
Prof Sri Raharjo, Kepala Pusat Studi Pangan dan Gizi
Universitas Gadjah Mada (UGM), menilai bahwa keracunan massal ini merupakan
akibat dari kegagalan sistemik, bukan sekadar kesalahan teknis. Menurutnya,
pemerintah cenderung hanya mengevaluasi hal-hal operasional, seperti cara
memasak, tanpa menyentuh akar persoalan yang lebih mendasar.
“Evaluasi sering berhenti pada mencari sumber bakteri, bukan
mengapa sistem penyimpanan dan pengolahan memungkinkan kontaminasi terjadi,”
jelasnya. Ia menambahkan, masalah kontaminasi bakteri seperti Bacillus
cereus menunjukkan lemahnya standar penyimpanan bahan, proses pengolahan,
hingga transportasi makanan.
Pemerintah Baru Bertindak Setelah Keracunan Terjadi
Prof Sri menilai pemerintah pusat terlalu berasumsi bahwa
semua sekolah memiliki kemampuan yang sama dalam menjalankan program MBG.
Padahal, kompleksitas penyediaan makanan massal melibatkan banyak faktor, mulai
dari kapasitas kepala sekolah, pengawas, pengelola kantin, hingga Unit
Kesehatan Sekolah (UKS). Sayangnya, banyak pihak di lapangan yang belum siap.
“Pemerintah baru bergerak setelah keracunan terjadi.
Evaluasi lebih bersifat memadamkan api, mencari kambing hitam, bukan membangun
sistem pencegahan dari hulu ke hilir,” katanya.
Langkah Darurat yang Perlu Dilakukan
Untuk mengatasi persoalan ini, Prof Sri memberikan beberapa
rekomendasi langkah darurat:
- Audit
Mendadak dan Menyeluruh
Melibatkan tim ahli gizi, epidemiolog, dan BPOM untuk memeriksa seluruh proses penyediaan MBG, mulai dari pengadaan, penyimpanan, pengolahan, hingga distribusi. - Sertifikasi
dan Pelatihan Wajib
Semua juru masak dan penanggung jawab makanan wajib mengikuti pelatihan keamanan pangan serta mendapatkan sertifikat resmi. - Standar
Operasional Prosedur (SOP) yang Ketat
Dibutuhkan SOP yang rinci dan diawasi ketat, misalnya suhu penyimpanan daging, pencucian sayur, waktu dan suhu memasak, serta transportasi makanan. - Sistem
Pelaporan Transparan
Harus ada kanal pengaduan yang mudah diakses oleh guru maupun orang tua untuk melaporkan pelanggaran atau gejala keracunan pada siswa.
Selain langkah darurat, dalam jangka panjang pemerintah
perlu memetakan kapasitas tiap daerah sebelum memaksakan program ini berjalan
serentak. Daerah dengan kapasitas rendah sebaiknya mendapat pendampingan atau
diberikan model distribusi alternatif, misalnya berupa voucher bahan makanan
dari pedagang terverifikasi.
Nyawa Anak Jadi Taruhan
Prof Sri menegaskan bahwa program MBG memang memiliki niat
mulia, namun jika dikelola secara terburu-buru tanpa sistem yang matang, justru
bisa menjadi bumerang. Kasus seperti di Sleman yang menimpa ratusan siswa
menunjukkan risiko besar jika pemerintah hanya mengejar target kuantitas tanpa
memperhatikan kualitas.
“Program ini jangan berorientasi proyek semata. Kesehatan
dan nyawa anak-anak terlalu mahal untuk dipertaruhkan dengan pengelolaan yang
amburadul,” tegasnya.
Ia juga menyarankan agar program MBG dijadikan bagian dari
kurikulum pendidikan, sehingga anak-anak dapat belajar langsung tentang gizi
dan keamanan pangan. Dengan demikian, program tidak hanya sebatas pemberian
makanan, tetapi juga pendidikan kesehatan yang berkelanjutan.